Aku Duduk di Samping Jendela Hari ini langit nampak pudar kelabu karena hujan baru saja turun, membasahi tanah yang sudah lama kering terkena dampak musim kemarau. Selama setengah tahun (kira-kira) hujan belum turun di kota ini, selama itu pula hatiku tandus dan kering tanpa tersirami setetes air pun sampai sekarang. Bukan karena apa-apa, mungkin hanya karena suatu kondisi batin yang rindu akan sentuhan lembut keyakinan pada perasaan dan keputusan. Rasa rindu itu semakin lama semakin menjadi, menggunung, dan seakan menimpaku. Angin sejuk berlalu di antara helai-helai rambutku, mebisikkan sebuah kata tentang keseriusan atau tampaknya keputusasaan: “Sudahlah”. Terkadang suara itu terdengar jelas di telingaku, seperti terucap langsung dari mulutku. Terkadang pula hatiku menyambut hangat luapan samar mulutku itu dan kadang sebaliknya. Alasanya tidak begitu jelas, aku atau orang lain? kata-kata itu sempat terlintas sejenak dalam benakku.
Tumpukkan pakaian yang kutatap di dalam kamarku menambah kumal konsentrasiku. Apakah nasibku seperti pakaian yang terlantar itu? terpakai sebentar lalu di letakkan begitu saja tidak terawat. Musik yang keluar dari pengeras suara yang letaknya tidak jauh dari tempatku berpikir tentang masa depan pun tidak begitu mewakili nasibku bahkan walau hanya perasaan. Siapa sebenarnya yang salah? Dua atau tiga tahun yang lalu aku berharap banyak pada tindakan tidak masuk akalku, menuruti kata hati yang tidak mau brhenti, tidak ingin berhenti mengalahkan ketidakadilan, tidak ingin berhenti mengalahkan rasa tidak tahu diri: “Aku ini tidak pantas”.
Aku mencoba memahami otakku, bersiap menelan mentah-mentah kegagalanku pada setiap jejak yang kutinggalkan, mengenang kepedihan masa laluku nanti. Namun akhirnya, otakku berkata: “lanjukan hatimu, jika memang hatimu adalah otakmu”. Akupun selalu mecoba memandang wajah keraguanku untuk berharap lebih. Andai saja aku mengetahui isi hati orang lain, tentu saja aku akan semakin mantap menggerakkan kakiku untuk menuju pada batas yang jelas dan tidak perlu lagi perkiraan.
Setiap kali lagu yang kudengarkan berganti judul, konsentrasiku tetap saja tertuju pada sebuah ketidakpastian, tidak ingin berganti-ganti. Tentu saja semua orang mengharapkan keindahan dan keteguhan serta pembuktian. Karena tetap saja aku tidak bisa mengetahui isi hati orang lain sampai saat ini. Jelas karena aku bukanlah seorang nabi ataupun kekasih terdekat-Nya. Namun, terkadang ucapan dan penampilan merupakan gambaran asli pemiliknya. Itulah perkiraanku. Semoga saja asumsiku itu salah. karena aku takut kehilangan awan tebal yang bisa memberiku tempat untuk berteduh saat panas matahari mengeringkan semuanya. Atau aku yang salah? Bisa saja itu terjadi. Seperti halnya aku yang menumpahkan air minum tadi karena terus saja melamun dalam kegalauan. Namun itu tidak kusengaja. Apakah itu dianggap kesalahan? Tentu saja itu dianggap kesalahan. Dampaknya terlalu mengganggu sehingga tidak masuk akal jika aku berkata: “Maaf, aku tidak sengaja”. Sepertinya itu tidak cukup.
Teman-temanku sudah datang dari berkuliah, entah mereka masuk lingkungan ini dengan sengaja atau karena ketidaksengajaan. Kurasa itu cukup membantu jika mereka ditanya: Apakah anda cukup bepengalaman? Aku tetap saja terdiam di samping jendela kamarku sambil sesekali memandang ke luar, melihat gerak-gerik puluhan orang yang bisa saja jawabanya sama jika mengahadapi pertanyaan di atas. Untung saja angin sejuk tetap setia menemani hayalanku. Aku tidak masuk kelas, dosen materi komunikasiku hari ini ke luar kota. Aku ingin mengatakan bahwa aku tidak mengetahui apa kesalahanku, aku juga tidak ingin mencari kesalahan orang lain jika memang kesalahan itu benar adanya. Aku hanya ingin seseorang mengatakan bahwa aku bersalah karena tidak berbuat adil, atau orang itu mengatakn kepadaku: “Kau tidak seperti mereka yang lebih baik darimu”. Namun percuma saja, aku bukan mereka. Aku adalah orang yang berusaha memperbaiki kesalahan jika berbuat tidak benar dan kurang tepat. Aku tidak pernah berlari dari kenyataan jika itu memang benar kesalahanku. Hanya saja, semua orang memberiku kertas kosong yang tidak kumengerti apa maksudnya. Sekarang tuliskan puluhan, ratusan, bahkan ribuan kata: “kau bersalah” kepadaku.
Jika ingin berlari, akan kulakukan secepatnya agar tidak terlalu dalam menyakiti hati orang lain dan membuatnya hidup dalam kebingungan. Karena jejak-jejak pelarian itu akan sangat menyedihkan jika ditinggalkan begitu saja. “Hei, Thenk. Ayo ke perpus!”. suara temanku membuyarkan semua lamunanku. “Oh! kamu duluan, entar aku nyusul”. kupaksakan untuk menjawab walau dalam hatiku bergumam: mungkin. Semua orang boleh bepaling dan berlari menghindar dariku jika mereka berkata: “Aku membencimu karena kau bersalah” atau “Kau tidak lebih baik darinya”. Karena aku sadar aku tidak berharga. By: athenk_1223@yahoo.com
2 comments:
cerpennya benar2 menarik, seakan2 seperti melukiskan kehidupan pribadi gue..!!
maksih banget atas komennya....... itu juga yang kualami... heheheh
Post a Comment