Aku seorang siswi kelas XII MA di sebuah sekolah swasta. Sebagai seorang siswi kegiatan sehariku adalah belajar alias bersekolah. Bertemu teman-teman, guru-guru, dan pelajaran tentunya. Seperti umumnya murid-murid yang lain ada mata pelajaran yang aku sukai dan tidak aku sukai. Di antara yang aku sukai adalah pelajaran bahasa Inggris dan Kesenian karena cita-cita besarku kelak ingin menjadi seorang seniman hebat yang multitalenta di bidang seni. Dan di antara yang tidak aku sukai adalah pelajaran olah raga. Seperti biasanya aku berangkat sekolah dengan teman-temanku yang rumahnya tidak terlalu jauh dengan tempat tinggalku. Melewati jalan-jalan beraspal yang mulai rusak, pekarangan rumah tetangga yang luas, jalan raya yang tidak begitu ramai oleh kendaraan berasap, dan ayam dan kucing sesekali kulihat menyeberang jalan yang akan kulalui. Di samping kanan-kiri jalan tersebut ditanami pohon-pohon Asem yang bisa kulihat sampai ujung mataku memandang. Membentuk tembusan yang mirip terowongan. Rumput-rumput hijau masih tumbuh liar di sekitar lingkungan sekolah. Suara burung condet pun masih kudengar dari kejauhan karena di belakang sekolah adalah ladang-ladang luas yang belum di tumbuhi rumah-rumah. Akhirnya sampailah aku di depan gerbang sekolahku yang telah terbuka. Di sana, di lapangan, ada siswa yang sedang bermain volley sambil menunggu guru mereka datang ataupun menunggu bel masuk dibunyikan, sedangkan di samping lapangan, di bawah pohon beringin yang rimbun dan rindang siswi-siswi memperhatikan permainan itu sesekali ngerumpi tentang hal yang tidak kuketahui.
Sebagian siswa ada yang bermain kejar-kejaran di depan kelas mereka dan sebagian yan lain ada yang tidak menghiraukan suasana di luar kelas dengan tetap di dalam kelas sambil membaca mata pelajaran yang akan di sampaikan guru ketika bel masuk berbunyi nanti. Setiap harinya ada empat sampai lima mata pelajaran yang akan di pelajari. Hari ini hanya ada empat mata pelajaran: fikih, Bahasa Inggris, IPS, dan IPA. Sebenarnya aku tidak begitu suka dengan hari ini. Karena di hari ada mata pelajaran Fikih. Bukan karena aku tidak suka dengan pelajaran itu atau tidak suka dengan guru yang menyampaikanya, tetapi karena setiap pelajran fikihnya bapak Hasan itu, selalu ada sesuatu yang tidak aku senangi dari perilaku teman-temanku. Beliau biasanya selalu dikerjai...
atau tidak dihiraukan oleh teman-teman ketika mengajar. Itulah yang membuatku selalu marah dan jengkel ketika melihat beliau dikerjai teman-temanku yang dalam hal ini mereka juga murid beliau. Aku teringat saat beliau bolak-balik mencari buku yang telah disembunyikan mereka, atau saat beliau mengetuk-ngetuk pintu ketika dikunci dari dalam. Aku tidak habis pikir kenapa mereka melakukan hal itu? Aku dan sebagian temanku yang tidak senada dengan kejahilan itu tidak bisa berbuat apa-apa.
Ring……. Bel tanda masuk kelas berbunyi membuyarkan ingatanku singkatku tentang kenakalan teman-temanku terhadap bapak Hasan, guru yang mengajari mereka akhlak dan sopan santun kepada sesama manusia termasuk guru yang mentransfer mereka ilmu. Jam pertamaku adalah pelajaran Fikih "yang tidak aku sukai" itu. Siswa-siwa berhamburan masuk ke dalam kelas masing-masing ketika bel berbunyi, aku dapat melihatnya dari dalam kelasku. Begitu juga teman-teman sekelasku. Mereka menempati tempat duduk masing-masing meskipun sebagian dari mereka ada yang masih berkeringat sisa-sisa bermain volley: ada yang terbuka bajunya dan ada juga yang berkipas-kipas karena merasa kepanasan. "Assalamualaikum…." Ucap bapak Hasan sambil menaikkan kacamata beliau yang selalu melorot. "Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh…" jawab kami serentak "Kiyaman…ikroman" salah satu murid yang duduk di bangku tengah paling depan, ketua kelas kami, menyambung dengan suara keras yang mengisyaratkan kami harus berdiri dan menghormat kepada guru yang datang. Budaya inilah yang telah berjalan lama sebelum kami masuk sekolah ini dan akan tetap di lakukan oleh generasi setelah kami karena sudah menjadi tradisi yang tidak boleh ditinggalkan. Begitulah ucapan kepala sekolahku dulu kepada semua siswa baru ketika kami menjalani kegiatan orientasi siswa dulu.
Di sudut belakang aku melihat beberapa siswa yang masih berkipas-kipas kepanasan dan bercakap-cakap tanpa memperdulikan ada guru di depan. "Baik, karena kita di minggu yang lalu telah mempelajari Bab Waris, sekarang kita akan masuk ke Bab Nikah" beliau memulai pelajaran Fikih. "Hu………………" serempak semua siswa yang ada di kelasku berteriak. Hal ini mungkin disebabkan Bab Nikah merupakan bab yang isinya menarik menurut mereka karena bab itu membicarakan hubungan antara perempuan dan laki-laki. Ya seperti itulah pokoknya ketika ada pembicaraan tentang laki-laki dan perempuan suasana kelas menjadi ramai dan gemuruh oleh suara murid-murid. "Baiklah sekarang kita masuk pada Bab Nikah" guruku meneruskan. "Pak ada PR pak!" sahut salah seorang siswi yang tempat duduknya di pojok belakang mengingatkan. Seketika itu bapak Hasan berhenti sejenak dan kemudian berkata: " Ada PR, ya? PR apa?" sambil mengingt-ingat apakah benar beliau pernah memberikan pekerjaan rumah sebelumnya. "Nggak ada pak, nggak ada... sudah dikumpulkan minggu kemaren PRnya!" salah seorang murid menyangkal dan mencoba meyakinkan. "Belum pak!" aku menyahut karena aku juga ingat bahwa tadi malam aku sudah mengerjakan tugas yang diberikan oleh bapak Hasan. "Hus nggak ada..." timpal temanku, Udin, sambil berkipas-kipas dengan baju yang terbuka kancing bagian atas. "Nggak ada, pak! Kalaupun ada kami belum mengerjakan." "Ya udah kalo ada PR, yang sudah mengerjakan langsung dikumpulkan ke depan." lanjut bapak Hasan. "Yang belum?" tanya Udin agak menantang. "Yang belum selesai mengerjakan dikumpulkan minggu depan saja." Begitulah jawaban yang keluar dari bapak Hasan ketika menghadapi murid yang mbetik[1]: pasrah tanpa harus menghukum mereka macam-macam.
Beliau tahu sifat anak jaman sekarang. Jika mereka dipaksa dengan sesuatu yang tidak mereka senangi, akan ada pembangkangan yang lebih keras lagi dari mereka tanpa memperdulikan siapa yang dihadapi: apakah guru, kepala sekolah, bahkan orang tua mereka sendiri. Itulah yang terjadi saat ini, guru merasa
bingung ketika menghadapi siswa yang bandel. Apa yang sebaiknya dilakukan ketika menghadapi kondisi seperti itu. Sedangkan di sisi lain, jurus ampuh yang sudah di kenal semua kalangan siswa: hukuman, sepertinya tidak akan membuat mereka kapok dan jera dari kesalahanya. Hukuman hanya akan membuat mereka semakin marah. Mereka juga akan mengatakan bahwa guru itu kejam kalau masih memberlakukan sistem hukuman, mereka akan berkata kepada orang tuanya di rumah bahwa mereka ‘disiksa’ guru mereka di sekolah. Orang tua yang sudah pasti menyayangi anaknya tersebut akan lansung percaya dengan pengaduan anaknya karena disertai bukti sedikit memar di beberapa bagian tubuh mereka. Dari sinilah kesalahpahman bermulai. Sebagian orang tua yang tidak tahu persis bagaimana kelakuan anaknya di sekolah akan menyalahkan guru dengan mengatakan telah berbuat sesuatu yang tidak mendidik dan bahkan tidak manusiawi. Peran guru pun disalahkan karena tidak memberi pelajaran yang baiik terhadap muridnya dan dianggap tidak mampu memberi bimbingan dan tuntunan yang baik. Kebanyakan orang tua mungkin belum mengerti betapa sulitnya seorang guru mengatakan kepada muridnya yang mbetik : "Jangan diulangi lagi!" atau sekedar mengatakan "Jangan nakal!."
Mereka mungkin belum tahu ketika anaknya hanya tersenyum saat diberi nasihat, dan mungkin juga mereka belum tahu betapa seringnya seorang guru memberikan pengarahan dan bimbingan untuk berbuat baik kepada muridnya. Apalagi yang harus dilakukan oleh guru kepada muridnya yang nakal ketika hukuman dianggap sudah tidak manusiawi dan mendidik lagi. Sedangkan jika dibiarkan mereka akan semakin tidak dapat dikontrol dan tidak karuan. Cukupkah seorang guru hanya mengelus-elus dada ketika melihat didikanya melakukan sesuatu yang tidak mendidik?, cukupkah seorang guru hanya pasrah melihat semuanya terjadi karena sudah tidak memungkikan lagi untuk diberi nasihat? Seharusnya ada tindakan yang lebih dari hanya sekedar mengelus dada dan melihat. Aku teringat cerita orang tuaku tentang orang-orang yang mondok di pesantren dan menerima hukuman ketika melanggar, mereka tidak pernah membantah terhadap apa yang telah dilakukan oleh penghukumnya alias ustadznya. Mereka mendapatkan hukuman yang berat walaupun hanya melakukan hal yang sepele. Mereka menerimanya tanpa ada rasa jengkel. Mereka merasa pantas mendapatkanya. bahkan malah bersyukur dan berterima kasih karena ada orang yang masih perduli dengan kesalahan mereka, berterima kasih karena diberi nasihat dan petunjuk bahwa apa yang telah mereka lakukan merupakan perbuatan yang tidak terpuji.
Tetapi semua itu berbeda dengan sekarang. Mereka malah menganggap hukuman merupakan perbuatan yang tidak mendidik. Perbuatan yang tidak ada manfaatnya. Mugkin karena itu, guru mempunyai imej jelek di masyarakat. Video-video rekaman yang beredar banyak memperlihatkan tingkah laku guru ketika menghukum murid-murinya yang dianggap kejam. Tetapi sedikit sekali video yang menayangkan kenakalan siswa yang membuat guru melakukan hukuman tersebut.
Tidak terlalu lama bapak Hasan menjelaskan tentang nikah dan segala sesuatu yang berhubungan denagan itu, beliau merasa terganggu dengan suasana kelas yang ramai. "Tolong diperhatikan, anak-anak, jangan rame…sudah paham atau belum?" ucap beliau sembari menaikan kacamata dengan ujung telunjuknya sambil menghadap ke arah murid-murid. Namun sebagian siswa, termasuk Udin dan antek-anteknya, tidak menghiraukan ucapan beliau. "Kalau masih mau rame silakan di luar." menambahi dengan nada sedikit marah. "Gitu ya, pak?" sahut Udin. Seketika itu semua pandangan murid tertuju pada udin. "Ya." Jawab beliau. Tanpa berpikir panjang Udin dan gengnya pun ke luar kelas tanpa merasa bersalah sedikitpun bahkan mereka tertawa keras dengan nada mengejek ketika di luar kelas, aku dapat mendengar dan merasakanya dari dalam kelas. "Kita lanjutkan bahasan yang tadi…tidak usah menghiraukan mereka." beliau memecah suasana yang seketika itu tenang dengan nada kesal. "Oleh karena itu, setiap orang yang sudah mampu dalam segi fisik maupun mental untuk menikah, disunahkan untuk menikah. Bagaimana, ada pertanyaan?...Kalau nggak ada pertanyaan, bapak mau ngomong sebentar sebelum ke luar." Sepertinya ada sesuatu yang serius. Ada apa? "Mungkin ini adalah pertemuan yang terakhir bagi kita, mulai saat ini saya tidak mengajar lagi di kelas kalian. Aku sudah bilang kepada bapak Kepala Sekolah sebelumnya tentang ini." Seketika itu suasana menjadi sangat hening sekali. Seakan semua tidak percaya hal itu akan terjadi. "Kenapa, Pak? Ada apa?" sahutku dengan rasa penasaran yang tinggi. Beliau terdiam sejenak sambil menunduk ke bawah dan lagi-lagi menaikkan kacamata yang selaru melorot. "Emm…tidak kenapa-kenapa dan tidak ada apa-apa." Jawab beliau sepert menyimpan sesuatu. "Pak, kenapa, Pak? Kami mau tahu." Sahut yang lain sepertinya merasa penasaran seperti aku. "Iya, Pak" murid-murid yang duduk di belakangku juga mendesak agar beliau menjelaskan alasan kenapa beliau mengatakan itu.
Akhirnya suasana semakin ramai dengan suara murid-murid yang merasa ingin tahu kenapa. Apakah itu karena kami atau karena sesuatu yang lain. "Baiklah…baiklah, tenang dulu…akan bapak jelaskan. Sebenarnya bapak sudah merasa tidak kuat untuk diberi amanat mengajar di kelas kalian ini. Kuharap kalian tidak tersinggung. Saya sudah menjelaskan kepada kepala sekolah bahwa saya sudah kalah dan menyerah dengan tingkah kalian dan meminta agar ada guru yang menggantikan saya. Saya hanya tidak ingin kalian tidak mendapatkan ilmu apa-apa karena tidak suka dengan saya atau karena saya membosankan. Mungkin ada guru lain yang lebih baik yang dapat menciptakan suasana seperti yang kalian inginkan.
"Ha...ha…ha…hore, hore…!" terdengar keras dari luar kelas. Suara yang tidak asing lagi: suara Udin dan gengnya. Sejenak memalingkan perhatian kami dan bapak Hasan. "Kalian mungkin merasa tidak nyaman dengan bapak karena bapak kolot, tidak mengerti anak muda jaman sekarang, kurang pintar, dan lain sebagainya." Lanjut beliau. "Bapak paham hal itu. Oleh karena itu saya merasa cukup di sini saja mengajar kalian." Tidak, pak, jangan. "Bapak tidak menaruh dendam apapun pada kalian yang membenci saya. Bapak tidak akan mengatakan hal alasan mengapa saya berhenti ini kepada bapak atau ibu kalian. Ini semua salah saya. Saya juga minta maaf yang sebesar-besarnya jika selama saya mengajar kalian bapak melakukan kesalahan yang menyakitkan hati kalian atau membuat kalian tidak betah di kelas bersama saya. Maaf , maaf sekali….assalamualaikum." Beliaupun keluar dengan membawa buku Fikih yang dari tadi dipegang sambil mengusap air matanya ketika mendekati pintu kelas. Dan akhirnya beliau lenyap dari pandangan kami.
Ketakutanku menjadi nyata, setiap orang mempunyai batasan kesabaran. Orang yang paling sabar pun lama-kelamaan tidak akan mampu menahan rasa kesalnya ketika selalu diganggu. Menahan kemarahan bukan hanya karena takut untuk melampiaskanya, tetapi juga—dalam hal ini—karena ingin tetap bisa memberikan teladan dan contoh yang terbaik kepada murid-muridnya. Ingin mengajarkan kesabaran dan rasa sayang, tetapi mereka lupa akan hal itu. Kesabaran itu di salahpahami dengan keluguan dan kepasrahan atau bahkan kekalahan. Kekalahan seorang guru kepada muridnya. Itulah anggapan mereka. Sebuah pelajaran berharga dari seorang guru yang masih menghargai murid-muridnya. Tidak termakan emosi dan mau mengalah. [1] Bandel dan nakal
No comments:
Post a Comment