16.5.09
The Lost World
Selamat datang di Lumajang Hari itu hari liburku dari kepenatan: masuk kelas , makalah, dan akhirnya agak bosen. Perjalanan menuju ke tempat tujuan sangat jauh. Entah berapa kilometer jaraknya, aku berangkat dari Surabaya. Dari Surabaya saja sudah jauhnya minta ampun apalagi dari Lamongan kampung halamanku, nggak kebayang kayaknya. Tapi bukan berarti aku belum pernah manjalaninya, aku sudah beberapa kali ke Lumajang tempat indah itu sebelumnya. Keluargaku ada di sana, lebih tepatnya mbakku. Mbakku menikah dengan orang Lumajang. Ke sanalah tujuanku ketika aku bertandang ke lumajang untuk melihat keponakanku yang lucu: Wafiq Aminuddin. Umurnya baru sekitar satu tahunan.
Tidak disangka sebelumnya Lumanjang mempunyai banyak tempat wisata yang patut untuk dikunjungi: ada pemandian Silokambang, danau Ranu, Semeru, Purenya orang Hindu, dan lain sebagainya. Kota lumajang memang tidak terlalu dikenal sebagai kota Pariwisata. Mungkin kota itu lebih sering disebut dengan “Kota Pisang” oleh kebanyakan orang dari pada kota pariwisata, setahuku. Karena di sana pusat pembudidayaan pisang segala jenis dan juga papaya di samping jalan masuk kabupaten lumajang banyak berjajar rapi penjual pisang-pisang, ada pisang berukuran besar sampai pisang yang sebesar ibu jari juga ada. Mungkin dari situlah kenapa lumajang dijuluki Kota Pisang. Di samping Kota Pisang, ternyata Lumajang menyimpan pesona-pesona alam yang indah dan menakjubkan, sebut saja yang paling popular: Gunung Semeru. Gunung yang masih aktif itu menjadi primadona warga sekitarnya karena sering dikunjungi oleh banyak orang, termasuk saya. Gunung itu tampak begitu indah saat awan-awan putih menyentuh puncaknya, memperlihatkan kemesraan alam yang mempesona , memperlihatkan kolaborasi alam yang sempurna, dan sebuah isyarat bahwa alam terlalu indah dan berharga untuk dirusak oleh tangan-tangan nakal manusia. Meskipun semeru tampak begitu indah tetapi di balik itu semua semeru mempunyai kekuatan yang dahsyat saat marah. Dan saat itulah manusia hanya bisa melihat dan pasrah tanpa harus melawan.
Kembali ke perjalananku. Jarak yang jauh itu kutempuh kira-kira 3-4 jam bersepeda motor –sebenarnya aku tidak sendirian, cak Muafiq membonceng aku. Waktu yang lama dan capek untuk tetap duduk di atas jog sepeda motor. Huf… lama dan capek banget pokoknya. Maklumlah ber sepeda motor jadi posisi yang bisa dikondisikan terbatas tidak seperti di dalam mobil atau bus. Bisa tidur-tiduran, merebahkan badan, menyandarkan kepala ke belakang, dan beberapa posisi yang menguntungkan untuk bisa beristirahat dengan tenang. Namun aku tidak mau mengambil resiko itu ketika ada di atas sepeda motor. Taruhanya nyawa paling ya…
Perjalanan malam memang mengasyikan, tidak panas, udara yang bisa dihirup juga segar, dan yang paling mantap kita bisa melihat alam malam tempat-tempat yang kita lewati. Begitulah perjalananku: melewati ‘malamnya’ Pasuruan, Probolinggo dan lumajang. Surabaya dan sidoarjo kami lewati saat melam belum menjelang. Lampu-lampu kendaraan yang berkedip-kedip, berwarna oranye, merah putih menyilaukan, dan lampu-lampu rumah sekitar yang kebanyakan putih begitu kontras dengan background malam. Langit indah yang kelihatan saat bulan bersinar, mega-mega gelap dan transparan saat melewati cahaya bulan dan pohon-pohon yang kadang terlihat gelap dan sangat hitam mempunyai keindahan tersendiri. Sepanjang jalan kebanyakan kendaraan bermotor yang kulihat. Ya namanya juga lagi dalam perjalanan jadi tidak begitu jelas pemandangan alam sekitar yang bisa terlihat.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment