14.4.09

Cerpen Untuk Ibu


Sudah seharian aku tidak menyapa beliau, apalagi berbicara atau sekedar mengungkapkan masalah yang aku hadapi jika itu ada. Memang itu kelihatan tidak sopan bahkan keterlaluanu untuk orang seperti aku jika menganggap beliau seperti itu. Dan ini untuk yang kesekian kalinya. Sudah berkali-kali hal seperti ini kulakukan tanpa aku merasa bersalah. Entah pikiran apa yang merasukiku. Rasa hormat, patuh, dan taat serasa melayang jauh menghindariku tanpa kutahu apa alasanya.

Sejenak kupandangi wajah asri itu tanpa tahu apa sebenarnya yang ada dibalik mimiknya. Kucoba menatap dalam-dalam sekali lagi: mengharap semua rasa yang hilang itu akan kembali lagi padaku. Sambil menghabiskan sedikit demi sedikit nasi dalam piring yang ada di hadapanku. Aku tidak memakai sendok atau garpu untuk mengangkut suap demi suap nasi itu ke mulutku, karena aku tahu bahwa itu tidak terlalu baik: itulah beberapa kalimat yang masih kuingat dari beliau. Sedangkan di tempat yang tidak begitu jauh dariku, beliau sedang membilas pakaian yang telah dibersihkan kotoranya sebelumnya. Dan sebelum itu juga, beliau sudah membersihkan seisi rumah tanpa menyuruhku untuk membantu. Maklum tidak ada komunikasi sama sekali sehari ini. Meskipun aku juga sering membantu jika kami sedang tidak ada masalah.

Air yang mengalir dari lembaran-lembaran kain seakan menyuruhku untuk mengikutinya: menuju ke sebuah selokan yang bau dan kotor tanpa harus berpikir kenapa aku harus melakukanya atau tanpa harus bertanya kenapa hal itu dilakukanya padaku. Sudahlah aku tidak mengerti apa maksudnya.


Selesai makan aku beranjak menuju kamarku dengan mencuci tanganku terlebih dahulu. Tangan yang penuh dengan harapan untuk bisa berjabat tangan dengan beliau dan mengatakan: “Maafkan aku, aku bersalah.” Namun sepertinya hal itu akan sangat berat kulakukan jika aku tidak tahu apa sebenarnya kesalahanku. Sifatku (menurutku) tidak jauh berbeda dengan beliau. Jika beliau marah aku juga bisa melakukanya, jika beliau menyuruh, begitu juga aku. Orang-orang mungkin mengatakan bahwa itu memang pembawaan sejak lahir karena aku mempunyai hubungan yang sangat erat dengan beliau sejak aku dilahirkan: ikatan emosional dan batin. Namun sesuatu yang paling tidak aku sukai dari diriku atau juga dengan seseorang yang kuanggap sama denganku adalah bahwa aku enggan untuk meminta maaf. Sudah pasti itu adalah sifat egois dan menganggap diriku paling benar, meskipun di balik kebenaran aku terkadang bersalah.

Dari dalam kamarku aku mendengar beliau bercengkerama riang dengan adikku sambil menonoton televisi yang letaknya di samping ruag tamu. Menonton program TV yang bermanfaat bagi beliau dan adikku. Itulah yang selalu aku dan adikku lakukan ketika menonton TV besama beliau. “Jangan menonton program yang tidak baik untuk anak kecil, nanti bisa seperti kakakmu!” terdengar beliau sedikit memberi arahan kepada adikku: begitu juga kepadaku (aku merasakanya).

Aku tidak benar-benar ingat kenapa aku saling berdiam-diaman dengan beliau. Yang jelas, aku merasa tidak bersalah. Sepertinya, aku tidak melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Kurasa beliau yang bersalah, dan mungkin juga itulah yang ada di pikiran beliau. Kucoba untuk menguatkan perasaan itu dalam hatiku. Sudahlah, aku tidak mengerti apa maksudku. Tapi tetap saja aku ingin melakukan yang tampaknya berat unutk dilaksanakan: bersalaman dan mencium tangan beliau untuk mengatakan bahwa aku bersalah. Aku sangat berharap hal itu bisa terjadi secepatnya: nanti, atau bahkan sekarang.

Aku menatap setiap sudut kamarku. Karena kamar ini adalah saksi bisu saat aku menghabiskan setiap detik berhargaku ketika aku masih kecil bersama beliau. Saat beliau merawatku penuh kasih sayang tanpa mengharapkan suatu saat nanti mendapat balasan yang sama, ketika menyuapi aku tanpa aku harus tahu apakah beliau sudah makan atau belum, atau saat beliau menggendongku penuh cinta dan harapan agar aku kelak menjadi anak yang bisa menghargai pengorbanan orang lain. Aku tidak menganggap beliau orang lain. Paling tidak itu adalah sebuah keutamaan.

Kuresapi dalam-dalam masa kecil penuh kasih sayangku. Berharap suasana seperti itu bisa terulang kembali atau barangkali inilah saatnya aku untuk membalas semua yang telah beliau berikan padaku tanpa memperdulikan sifat egoisku. Aku tetap berpikir untuk melakukan hal yang berat tadi. Namun, sebuah bisikan tetap meyakinkanku bahwa aku tidak bersalah dan jangan melakukanya. Wajah asri beliau sejenak melintas di depan mataku. Terlintas pula cinta dan kasih sayangnya yang tulus. Jangan egois, dia itu bukan orang lain, mau bagaimanapun kaulah yang bersalah.

“Sudah adzan Dhuhur, ayo salat,” Entah dengan siapa beliau berkata. Namun aku teringat, kalimat itulah yang beliau ucapkan kepadaku kemarin dan setiap harinya. Aku tetap terdiam dalam kamarku, menatap ruangan segi empat yang sarat dengan sejarah yang tidak tertulis, namun memberikan visualisasi samar tentang sejarah itu di otakku.

Beliau dan adikku sudah selesai salat beberapa menit yang lalu. Sudah hampir habis waktu dhuhur, aku harus harus segera melaksanakan salat. Aku tidak ingin didiamkan oleh beliau dan juga Tuhanku. Setelah mengambil wudhu akupun mulai mengerjakn salat. Di tengah-tengah ibadahku aku mendengar suara memanggilku: “At, cepat ke sini bantu aku…” aku sedang salat bagaimana ini? Imi kesempataku untuk memperbaiki hubunganku dengan beliau, ibuku sendiri. Namun tidak lama kemudian suara yang asalnya sama terdengar: “asar anak gak tahu diri, dipanggil-panggil gak muncul-muncul…” aku sedang salat. Rasanya ingin menangis, karena aku sadar bahwa aku tidak akan masuk surga.


Untuk kesekian kali kuulangi kesalahanku
hari ini aku mengaku salah
kelam kehidupan tak pernah kupikirkan
karena kotoran dosa yang semakin menumpuk


padamu…
kaulah kasih sayang suci itu
cinta abadi tanpa aku harus mengabdi
memberi arti di setiap kulangkahkan kaki
semesta alam menghormatimu
sungai surga mengalir bening di bawahmu


aku menunduk malu di hadapanmu
menyodorkan masa lalu dan salahku
mengharap ridhomu dan tuhan
mengharap ampunan dan belas kasihan

No comments: