13.8.10

Tanpa Air Mata

Sudah beberapa minggu ini dia tidak bertemu dengan Mashlahah, kekasihnya, atau mugkin dia tidak ingin bertemu karena tidak mau membuat kondisi menjadi lebih buruk. Biarkan ia saja yang mengalah demi kebaikan kekasihnya.
"Gimana, Bed, kamu sudah dapat gak?" iseng-iseng Mahrus bertanya pada Ubaidillah, itulah namanya tetapi dia sering dipanggil Ubed, saat nongkrong di warung kopi sebelah rumah kakakya.
"Dapat apa?" jawab Ubed sambil perlahan meghisap rokok dan mengeluarkan asapnya membentuk lingkaran-lingkaran yang banyak.
Setelah menghisap sekali sampai tiga kali rokok dan mengeluarkan asapnya dengan bentuk lingkaran juga Mahrus meneruskan. "Pura-pura gak tahu lagi, rela gak kamu? Kalau aku jadi kamu pasti sudah mampus tu orang, soalnya aku orangnya gak  ihlasan. Tapi kalau sodaqoh aku selalu ihlas."
"Biarin, itu sudah tidak penting buatku. Masih banyak yang lain di sana." Jawab enteng Ubed berusaha untuk menghibur diri. Karena dia tahu akan sulit untuk menghadapi kenyataan ini.
Dia hanya berusaha untuk terlihat tegar dan cuek menghadapi masalah di mata teman-temannya.
"Santai aja, kamu memang benar, masih banyak yang lain di sana. Tetapi…"Mahrus meminum kopi yang sudah didinginkan hingga habis kemudian "emm…belum tentu sama. Dan aku yakin tidak ada lagi orang yang seperti dia, ya, kan?" kembali menghisap rokok Gudang Garam Internasional beberapa kali kemudian menoleh ke Ubed.
Ubed terdiam sejenak dengan rokok di mulutnya sambil menyalakan korek api yang dia pegang dan kemudian menyalakan rokok dengan merek yang sama seperti milik Mahrus. "gak perduli, masak gara-gara cewek hidupku jadi gak karuan? Mendingan kerja cari uang baru nyari cewek buat dijadikan istri. Tapi itupun kalau kepingin. Kalau gak terlalu kepingin ya cari uang aja terus dulu biar mapan bener nanti kalo sudah punya keluarga. Investasi dulu lah." Sedikit nyeleneh dari kebiasaanya yang selalu semangat kalau berbincang masalah kaum hawa.
"Gayamu, dul…dul..! ketok raimu iku gak usah mbujuk." Keluar juga bahasa Suroboyoan-nya."Terus terang ae. Aku kan temenmu. Masak gak jujur ma temen sendiri. Kali aja aku bisa bantu, bantu ngelariin kamu sama dia  misalnya, atau kalo itu terlalu brutal, ya mungkin ngomong langsung sama ortunya, gimana." Menawarkan jasa yang mungkin dia sendiri tidak mampu melakukanya. Mahrus memang suka bercanda.
"Sudahlah gak usah ngomongin masalah yang begituan. Gimana motornya pak Hidayat, Udah kamu benerin ta karburatornya? Kayaknya butuh ganti oli." Mengalihkan pembicaraan ke kerjaan yang mereka geluti sebagai tukang utak-atik motor. "kamu ingat gak pas kita melihat pak Hidayat naik motor lamanya? Asap motornya bener-bener keren, Kayak voging nyamuk. Buset pokoknya."
"Hua ha ha ha…" seketika Mahrus tertawa keras ketika mengingat itu."iyo iyo, aku inget. Ha ha ha. Pantesan nyamuk di sini dah gak ada, pasti itu gara-gara voging pak Dayat. Gimana kalo besok kita suruh pak RT tuk berterima kasih pada pak Dayat, gimana, ha ha ha ha."
"Ha ha ha ha wah ide bagus tuh! Tapi ati-ati kualat lo!" suasana warung menjadi ramai dengan suara mereka berdua, untung saja pelanggan warung tidak terlalu banyak jadinya cuma sedikit mengganggu pak Zainal, pemilik warung yang sedang menghitung uang di atas kursinya setelah seharian melayani pelanggan-pelanggan setianya.
"Hus! Wes dalu le,o jo banter-banter ngguyune!" tegur pak Zainal sambil menaikkan kaca mata yang selalu saja turun karena tidak terlalu pas. Sedangkan tidak ada cukup uang untuk membeli yang baru agar tidak terlalu sering menaikkan kaca matanya lagi.
"Enngeh, pak Zen, Ayo pulang sudah jam 2 pagi. Nanti pagi-pagi kita punya tugas mberesin vogingnya pak Dayat. Ha ha ha." Ajak Ubed sambil bergurau.
"Ha ha ha ha ha…" Mahrus terus tertawa saat mengingatnya dan terpaksa berhenti tertawa saat pak Zainal melototinya.
Mereka pun pulang kerumah masing-masing. Rumah mahrus tidak terlalu jauh dari tempat ubed tinggal, hanya di gang sebelah tempat Rumah Kakak Ubed. Ubed tinggal bersama kakaknya di Surabaya, bersama 3 keponakanya. Ima, Faid, dan Mamik. Merekalah yang selau memberinya keceriaan di saat libur kerjanya. Dia harus tidur sekarang karena pagi nanti dia punya banyak pekerjaan yang belum rampung menunggunya di bengkel.
***
Entah hari ini dia akan datang atau tidak tetapi untuk menghormati dan sebagai bukti bahwa ia tidak apa-apa dia harus datang. Dia harus bisa membuatnya yakin untuk tetap menjalani hidupnya tanpa da masalah yang berarti. Biarkan kenangannya dia kubur bersama harapan dan cita-citanya. Mungkin cerita perjalanan asmaranya ini akan dia sampaikan kepada orang yang berada di posisi yang sama seperti dia nanti, bersikap tegar dan sabar menghadapi badai cobaan. Inilah hidup dan takdir tidak bisa ditebak apa jadinya.
"Pagi, Pak!" sapa Ubed kepada pak Nurul saat memasuki halaman bengkel tempatnya bekerja setelah sebelumnya mengantarkan Mamik, keponakan terkecilnya, ke sekolah MI di desa sebelah. Dia juga sudah meminum kopi dan memakan beberapa kue lapis yang sudah disediakan oleh Mbak Nil, istri kakaknya, dia atas meja ruang tamu rumahnya. Kebiasaan itu terjadi tiap pagi sementara kakaknya, Rohim, terkadang belum pulang dari menjaga tambak udang dan bandengnya yang berada jauh dari rumahnya. Biasanya kakaknya bermalam di gubuk yang ada di tambak untuk tetap menjaga intensitas air yang masuk ke dalam tambak. Hal itu harus ia lakukan tiap malam saat air laut pasang, jika itu tidak dilakukan, debit air akan terus bertambah membuat air yang ada di tambak meluap dan akhirnya semua penghuni tambak akan lepas dan keluar sepert yang pernah terjadi beberapa waktu yang lalu. Di samping kerugian besar jika hal itu terjadi namun di saat panen datang keuntungan besar juga sering ia rasakan sebanding dengan kerja kerasnya saat, merawat tambaknya.
"Pagi juga, Bed, tumben pagi-pagi udah ke sini, tadi malam tidak begadang ta?" penasaran dengan Ubed yang tidak biasanya pagi-pagi sudah ke bengkel..... (to be continued).

No comments: