3.5.09

Doa Sang Pohon

Aroma yang terasa saat itu mengingatkanku pada tempat asalku dilahirkan: penuh dengan daun hijau dan angin sejuk yang membelai mesrah sekujur tubuh, seakan membisikkan kata-kata bahwa ia senang dengan kondisi seperti ini. Memang suasana yang kurasakan seperti ini tidak sering ditemukan disembarang tempat. Apalagi di Surabaya yang sudah tidak ramah ligkungan lagi. Namun bukan berarti Surabaya tidak bisa menarik lagi. Surabaya akan semakin indah dan ramah lingkungan jika sedikit demi sedikit polusi dikurangi dan pepohonan diperbanyak. Dan tidak mustahil suasana yang kurasakan saat ini akan berpindah ke Surabaya yag sudah kadung terkena image miring.


Saat itu sangat dingin dan mendung tapi menyegarkan. Bahkan tempatku tinggal tidak sedingin ini. Pohon-pohon tinggi menjulang yang angkuh dan penasaran begitu gagah berdiri berjajar dan berbaris rapi: penasaran pada burung-burung yang terbang bebas menghirup udara dan menikmati sinar matahari, penasaran dengan nasib: berapa lama dia akan tetap seperti ini. Banyaknya guratan di ‘tubuhnya’ mengisyaratkan jumlah pengalaman dan umur yang telah ia lewati. Entah berapa tahun, yang pasti sudah sangat lama sekali, bisa dilihat dari tinggi posturnya dan relief yang ada padanya. Akupun penasaran padanya: pada nasibnya. Berapa lama ia bisa aman dan terjaga dari kejahilan pemborong kayu illegal. Atau berapa lama ia bisa tetap meminum air kehidupanya di saat langit bumi semakin panas dan tidak terkendali seperti ini. Itu bukan hanya sekedar penasaran yang tinggi terhadap nasibnya, tetapi itulah doa yang bisa aku panjatkan agar tetap bisa memberikan hidup kepada manusia. Aku tidak bisa berpikir lagi jika semua yang ada di hadapnku sekarang ini lenyap tanpa bekas.

Bau pepohonan yang kuhirup saat ini sudah digantikan bau asap hitam yang menyesakkan paru-paru. Suara air yang mengalir berubah menjadi bising mesin yang tidak akan berhenti siang dan malam, ataupun kicauan burung yang ditelan gemuruh robot-robot pembangunan. Dan saat itulah amarah alam yang yang dipendam agar mereka bisa memperbaiki kesalahan keluar tanpa ampun; tidak perduli yang baik dan yang buruk; tidak menghiraukan bayi-bayi, dan anak-anak yang belum sempat bertanya kepada orang tua mereka mengapa semua ini bisa terjadi; atau kakek-kakek yang ingin bercerita kepada cucu-cucunya bahwa dulu ditempat mereka berdiri pernah ditumbuhi populasi alam yang belum terjamah manusia dan keserakahan. Mereka semua lenyap ketika tanah-tanah terkapar tidak berdaya karena tidak kuat lagi hidup sendirian tanpa ditemani pepohonan yang tegar. Dia sudah tidak tahan dengan keserakahan dan penindasan. Barangkali ada saatnya manusia untuk sadar dan bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang bisa mengantarkan mereka pada kehancuran massal yang tidak bisa dikendalikan dan ditebak kapan akan terjadi. Setelah semua kehancuran itu terjadi, yang keluar dari mulut mereka hanyalah kata: “Mengapa ini bisa terjadi?”

No comments: